ASAPhotolab-6-crop

Dokumentasi ASA Photolab.

24 Oktober 2021 - Tren

ANALOG TIDAK MATI

Selain modal materi, membekali diri dengan pengetahuan tentang fotografi, khususnya analog, adalah satu keharusan yang juga tidak bisa ditawar ketika ingin memulai bisnis fotografi analog.

Di era serba digital sekarang ini, teknologi analog kembali diminati. Ia muncul ke permukaan ketika ruang-ruang fotografi Indonesia mulai dimeriahkan oleh kehadiran komunitas-komunitas analog yang didominasi oleh generasi milenial dan Gen Z. Padahal, banyak dari generasi ini yang belum lahir ketika kamera analog masih menjadi satu-satunya. Bagi mereka, analog adalah hal baru yang berdaya tarik vintage, jadul. Inilah, mungkin, yang menjadi penyebab kenapa teknologi analog kembali digemari di masa serba instan saat ini.

Semakin menjamurnya foto-foto bernuansa vintage membuat para fotografer lawas mulai meliriknya lagi dan bernostalgia. Sapta Hudaya, salah satu pemilik Wash and Burn, mengatakan bahwa analog dari dulu tetap ada, tidak pernah mati. Hanya saja penggunanya yang sudah tidak lagi banyak. “Sekitar 2010an, ketika orang sudah terbiasa dengan digital processing, efek-efek untuk membuat foto digital jadi artistik kemudian muncul. Orang jadi tahu kalau menggunkan filter kayak gini basednya dari film,” lanjut Sapta.

Hal-hal yang sangat artistik, dan terkesan beda, itulah yang membuat banyak generasi sesudah film menjadi tertarik dan mulai mengulik fotografi analog. Mereka yang gandrung pada teknologi lawas ini telah menjadikan kamera analog sebagai salah satu tren kekinian. Mereka ingin tampil unik dengan mengalungkan atau membawa kamera tua. “Kalau anak-anak muda mungkin banyak yang memperlakukan analog seperti aksesoris, fesyen. Karena kan banyak yang gantungin kamera pocket di leher,” ujar Tessi, istri Sapta yang juga pemilik Wash and Burn.

Tren inilah yang membuka ceruk bisnis di fotografi analog. Tessi telah masuk dalam bisnis fotografi analog ini pada 2008. Penyebabnya adalah ia sulit menemukan lab untuk memproses film. Kemudian, ia bersama temannya membuat sebuah lab indie pada 2012. Dalam bayangan Tessi, labnya nanti bisa menjadi sebuah ruang interaksi, tempat para penggemar kamera lawas ini berkumpul dan saling berbagi perihal seluk beluk fotografi analog. Tapi, bisnisnya itu tidak berumur panjang.

WashAndBurn-2-crop

Dokumentasi Wash and Burn.

WashAndBurn-7-crop

Dokumentasi Wash and Burn.

"Kita harus sadar bahwa bisnis fotografi analog ini gak berdiri sendiri, harus sama-sama dirayakan, sama-sama merangkul dan belajar bareng [...]"

Ruang Interaksi dan Community Based

Beberapa waktu setelah bisnisnya bubar, Tessi kemudian melanjutkan impiannya itu bersama sang suami, Sapta Hudaya. Mereka menggagas lahirnya Wash and Burn, sebuah tempat interaksi bagi pehobi fotografi analog. “Ini peluang bagus untuk dikembangkan, karena banyak lab muncul, yang jual kamera ada, yang jual film ada, semua sudah ada. Orang kalau punya hobi foto analog, ya, bisa ngejalanin,” kata Tessi.

Konsep Wash and Burn adalah 'dark room rental and film photography supply'. Di sini mereka menyediakan kamar gelap yang bisa digunakan bersama-sama. Selain itu, ada alat-alat dan bahan untuk memproses pencetakan film, dari kertas hingga aksesoris lainnya. Wash and Burn hanya fokus pada penyewaan kamar gelap, karena itu mereka tidak melayani cuci dan cetak film. “Cuci film, sih, biar urusan orang lain. Kalau ada orang yang punya project private dan ingin handle sendiri, mereka bisa menyewa kamar gelap di sini. Sistem sewanya per sif, kayak studio rekaman,” ujar Sapta.

Mas Agung Wilis Yudha punya cerita yang berbeda seputar bisnis fotografi analog ini. Yudha dan seorang kawannya masuk ke bisnis ini dengan basis komunitas. Dengan adanya komunitas, tentu akan ada interaksi di dalamnya. Interaksi itu bisa berupa loka karya, saling berbagi ilmu, serta mengadakan kegiatan-kegiatan untuk merangkul kalangan lainnya. Setidaknya bagi Yudha, ia dan rekannya bisa bersenang-senang dengan apa yang mereka suka.

“Kita harus sadar bahwa bisnis fotografi analog ini gak berdiri sendiri, harus sama-sama dirayakan, sama-sama merangkul dan belajar bareng. Ruang ini [fotografi analog] gak bisa hidup kalau gak ada kamu atau gak ada aku,” ujar Yudha. Melihat semakin meningkatnya animo orang-orang pada fotografi analog, dan setelah membuat perencanaan serta riset pasar, Yudha dan rekannya kemudian mendirikan ASA Photolab pada akhir 2019.

ASAPhotolab-2

Dokumentasi ASA Photolab.

ASAPhotolab-1

Dokumentasi ASA Photolab.

ASA Photolab kerap mengajak berbagai komunitas melakukan kegiatan-kegiatan bersama, seperti pemotretan ke beberapa objek wisata. Tujuannya adalah menggaet para pecinta fotografi lawas ini untuk lebih tertarik mengulik fotografi analog. Wash and Burn pun demikian pula. Lab ini gemar mengadakan berbagai lokakarya seputar fotografi analog. Dari kegiatan, ide-ide tentang teknologi analog bisa terus menyebar. Jejaring antar orang-orang yang mempunyai minat sama pun bisa terbangun. Make your own community, seperti kata Tessi.

Komunitas adalah satu hal penting dalam bisnis ini. Karena dari interaksi antar orang-orang di dalamnya dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh antar komunitas inilah yang membuat bisnis fotografi analog ini bisa berumur panjang. “Kalau mau berkarya di fotografi analog, harus banyak senangnya dan banyak temannya. Karena main film analog gagalnya banyak, trial and error terus. Jadi, gak merasa bego-bego amat karena banyak yang nemenin,” ujar Tessi sambil tertawa.

Masih Menjanjikan

Modal untuk memulai bisnis ini, tentunya dengan laboratorium yang layak, memang cukup besar. Belum lagi segmentasinya yang terbatas. Karena itu Sapta dan Tessi menyarankan untuk tidak menempatkan bisnis ini sebagai sumber penghidupan utama. “Sewa tempat, sih, yang bikin mahal. Di kondisi sekarang, lab film propernya, ya, sekitar 300 jutaan. Tapi, itu [modal] untuk running dua tahun,” kata Sapta. Sementara harga untuk kamar gelapnya sendiri bervariasi. “Untuk alat, kemungkinan paling minim untuk humble dark room, ya, mulai dari 15 jutaan,” lanjut Sapta.

Dengan kebutuhan modal yang besar itu, Sapta menambahkan, bagi mereka yang ingin merintis bisnis fotografi analog ini baiknya dimulai dari yang kecil dan sederhana. "Dulu Wash and Burn mulainya juga dari entry level banget. Analoginya, kalau beli kamera, ya, beli kamera pocket dulu lah. Jangan berekspektasi terlalu besar akan langsung menguntungkan,” ingatnya.

ASAPhotolab-3-crop

Dokumentasi ASA Photolab.

Menurut Yudha, bisnis ini memiliki prospek yang cerah di masa depan karena analog telah punya tempat sendiri di dunia fotografi. Selain itu, 'rantai' yang mendukung teknologi analog telah cukup luas dan lengkap. Dengan semakin tumbuhnya komunitas-komunitas, maka lab-lab analog, distributor film hingga jasa servis kamera analog juga turut berkembang. "Lab ini gak bisa jalan kalau gak ada fotografernya, fotografernya gak bisa jalan kalau gak ada kameranya, kamera gak bisa berfungsi kalau gak ada filmnya. Selama komunitas dan rantai ini masih berjalan, prospek bisnis ini akan bagus,” ujarnya.

Namun, Yudha juga mengingatkan bahwa mereka yang ingin memulai bisnis ini haruslah terlebih dahulu menyukai fotografi analog. Jika hanya memikirkan keuntungan semata, bisnis ini tidak akan bertahan lama. Riset yang komprehensif pun perlu dilakukan untuk mengetahui target pasar yang akan menjadi sasaran.

Akhirnya, selain bermodalkan materi yang memadai, membekali diri dengan pengetahuan tentang fotografi, khususnya analog, adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar. “Agak sulit rasanya kalau berbisnis fotografi analog tapi gak suka dan gak tahu tentang fotografi. Apalagi gak tertarik dengan analog itu sendiri,” pungkas Yudha.

Penulis: Lucia Dianawuri

Editor: Zhu Qincay

© BICARA FOTO 2021. ALL RIGHTS RESERVED.

error: