1 Oktober 2021 - Ulasan Buku

AU LOIM FAIN: BELENGGU MIMPI PEKERJA MIGRAN

Kematian Adelina yang tragis dan menyesakkan itu, sedikit banyak, menjadi gambaran kehidupan para pekerja migran Indonesia di negeri-negeri asing. Romi Perbawa menyadari hal itu.

Au loim fain. Kalimat yang berarti ‘aku ingin pulang‘ itu adalah kata-kata terakhir Adelina Sau, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Desa Oenino, Nusa Tenggara Timur. Pada usia belia, Adelina meregang nyawa di Malaysia akibat siksaan majikannya. Kematian Adelina yang tragis dan menyesakkan itu, sedikit banyak, menjadi gambaran kehidupan para pekerja migran di negeri-negeri asing. Romi Perbawa menyadari hal itu.

Dalam perbincangan, Romi menyampaikan alasannya menerbitkan buku yang berjudul Au Loim Fain ini adalah untuk menyebarkan kabar bahwa kehidupan para PMI di negeri asing tidak selamanya berjalan sesuai yang diharapkan. Romi juga memberikan gambaran bagaimana kehidupan orang-orang yang ditinggalkan begitu terdampak. Terutama anak-anak mereka yang ditinggalkan di kampung asal para pekerja migran tersebut.

Melalui buku fotonya, seperti yang ia tulis dalam kata pengantar, Romi ingin turut memperjuangkan kehidupan yang sehat dan pendidikan yang baik bagi anak-anak pekerja migran. Sebab itu pula, Au Loim Fain tidak hanya mengulik kisah para pekerja migran saja, namun juga mengisahkan tentang anak-anak yang mereka tinggalkan. Karya foto dokumenter ini dikerjakan Romi dalam kurun 2012 hingga 2019 di Indonesia, Malaysia, dan Hongkong. Kemudian, seluruh materi yang ia punyai dikembangkan bersama dalam Workshop Buku Foto JIPFest (Jakarta International Photo Festival) 2019 yang dimentori oleh Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen.

Au loim fain. Kalimat yang berarti ‘aku ingin pulang‘ itu adalah kata-kata terakhir Adelina Sau, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Desa Oenino, Nusa Tenggara Timur. Pada usia belia, Adelina meregang nyawa di Malaysia akibat siksaan majikannya. Kematian Adelina yang tragis dan menyesakkan itu, sedikit banyak, menjadi gambaran kehidupan para pekerja migran di negeri-negeri asing. Romi Perbawa menyadari hal itu.

Dalam perbincangan, Romi menyampaikan alasannya menerbitkan buku yang berjudul Au Loim Fain ini adalah untuk menyebarkan kabar bahwa kehidupan para PMI di negeri asing tidak selamanya berjalan sesuai yang diharapkan. Romi juga memberikan gambaran bagaimana kehidupan orang-orang yang ditinggalkan begitu terdampak. Terutama anak-anak mereka yang ditinggalkan di kampung asal para pekerja migran tersebut.

Melalui buku fotonya, seperti yang ia tulis dalam kata pengantar, Romi ingin turut memperjuangkan kehidupan yang sehat dan pendidikan yang baik bagi anak-anak pekerja migran. Sebab itu pula, Au Loim Fain tidak hanya mengulik kisah para pekerja migran saja, namun juga mengisahkan tentang anak-anak yang mereka tinggalkan. Karya foto dokumenter ini dikerjakan Romi dalam kurun 2012 hingga 2019 di Indonesia, Malaysia, dan Hongkong. Kemudian, seluruh materi yang ia punyai dikembangkan bersama dalam Workshop Buku Foto JIPFest (Jakarta International Photo Festival) 2019 yang dimentori oleh Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen.

Au loim fain. Kalimat yang berarti ‘aku ingin pulang‘ itu adalah kata-kata terakhir Adelina Sau, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Desa Oenino, Nusa Tenggara Timur. Pada usia belia, Adelina meregang nyawa di Malaysia akibat siksaan majikannya. Kematian Adelina yang tragis dan menyesakkan itu, sedikit banyak, menjadi gambaran kehidupan para pekerja migran di negeri-negeri asing. Romi Perbawa menyadari hal itu.

Dalam perbincangan, Romi menyampaikan alasannya menerbitkan buku yang berjudul Au Loim Fain ini adalah untuk menyebarkan kabar bahwa kehidupan para PMI di negeri asing tidak selamanya berjalan sesuai yang diharapkan. Romi juga memberikan gambaran bagaimana kehidupan orang-orang yang ditinggalkan begitu terdampak. Terutama anak-anak mereka yang ditinggalkan di kampung asal para pekerja migran tersebut.

Melalui buku fotonya, seperti yang ia tulis dalam kata pengantar, Romi ingin turut memperjuangkan kehidupan yang sehat dan pendidikan yang baik bagi anak-anak pekerja migran. Sebab itu pula, Au Loim Fain tidak hanya mengulik kisah para pekerja migran saja, namun juga mengisahkan tentang anak-anak yang mereka tinggalkan. Karya foto dokumenter ini dikerjakan Romi dalam kurun 2012 hingga 2019 di Indonesia, Malaysia, dan Hongkong. Kemudian, seluruh materi yang ia punyai dikembangkan bersama dalam Workshop Buku Foto JIPFest (Jakarta International Photo Festival) 2019 yang dimentori oleh Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen.

1-Buku-Au-Loim-Fain
2-Buku-Au-Loim-Fain
3-Buku-Au-Loim-Fain
4-Buku-Au-Loim-Fain

Romi mengawali buku ini dengan sebuah foto jalan setapak yang juga adalah ‘jalur tikus’ yang menghubungkan Entikong, Indonesia dengan Tebedu, Malaysia. Jalur ini digunakan oleh para pekerja migran yang tidak berdokumen resmi untuk menembus Malaysia. Melalui ‘lorong’ yang tersembunyi ini, Romi menggiring pembaca turut ke dalam perjalanannya menemui dan berinteraksi dengan para pekerja migran, keluarga serta anak-anak mereka, dan melihat liku keseharian mereka.

“Tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah”. Catatan pada halaman 11 itu memberi konteks dari foto-foto yang muncul setelah ‘jalur tikus’: foto-foto yang memperlihatkan para pekerja migran melakukan kerja-kerja di sektor informal, semacam asisten rumah tangga, pekerja di ladang sawit serta, buruh di pabrik pengolahan kayu.

Dari sana, Romi terus memberi gambaran tentang bagaimana para pekerja migran ini melakukan mobilitasnya, baik itu pulang ke kampung halaman atau ketika harus kembali lagi ke negara tempat mereka bekerja. Dengan foto-foto itu, Romi coba menyampaikan bahwa momen pulang kampung dan berangkat kembali itu adalah saat-saat yang penuh dengan tantangannya masing-masing.

Romi mengawali buku ini dengan sebuah foto jalan setapak yang juga adalah ‘jalur tikus’ yang menghubungkan Entikong, Indonesia dengan Tebedu, Malaysia. Jalur ini digunakan oleh para pekerja migran yang tidak berdokumen resmi untuk menembus Malaysia. Melalui ‘lorong’ yang tersembunyi ini, Romi menggiring pembaca turut ke dalam perjalanannya menemui dan berinteraksi dengan para pekerja migran, keluarga serta anak-anak mereka, dan melihat liku keseharian mereka.

“Tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah”. Catatan pada halaman 11 itu memberi konteks dari foto-foto yang muncul setelah ‘jalur tikus’: foto-foto yang memperlihatkan para pekerja migran melakukan kerja-kerja di sektor informal, semacam asisten rumah tangga, pekerja di ladang sawit serta, buruh di pabrik pengolahan kayu.

Dari sana, Romi terus memberi gambaran tentang bagaimana para pekerja migran ini melakukan mobilitasnya, baik itu pulang ke kampung halaman atau ketika harus kembali lagi ke negara tempat mereka bekerja. Dengan foto-foto itu, Romi coba menyampaikan bahwa momen pulang kampung dan berangkat kembali itu adalah saat-saat yang penuh dengan tantangannya masing-masing.

Romi mengawali buku ini dengan sebuah foto jalan setapak yang juga adalah ‘jalur tikus’ yang menghubungkan Entikong, Indonesia dengan Tebedu, Malaysia. Jalur ini digunakan oleh para pekerja migran yang tidak berdokumen resmi untuk menembus Malaysia. Melalui ‘lorong’ yang tersembunyi ini, Romi menggiring pembaca turut ke dalam perjalanannya menemui dan berinteraksi dengan para pekerja migran, keluarga serta anak-anak mereka, dan melihat liku keseharian mereka.

“Tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah”. Catatan pada halaman 11 itu memberi konteks dari foto-foto yang muncul setelah ‘jalur tikus’: foto-foto yang memperlihatkan para pekerja migran melakukan kerja-kerja di sektor informal, semacam asisten rumah tangga, pekerja di ladang sawit serta, buruh di pabrik pengolahan kayu.

Dari sana, Romi terus memberi gambaran tentang bagaimana para pekerja migran ini melakukan mobilitasnya, baik itu pulang ke kampung halaman atau ketika harus kembali lagi ke negara tempat mereka bekerja. Dengan foto-foto itu, Romi coba menyampaikan bahwa momen pulang kampung dan berangkat kembali itu adalah saat-saat yang penuh dengan tantangannya masing-masing.

Romi mengawali buku ini dengan sebuah foto jalan setapak yang juga adalah ‘jalur tikus’ yang menghubungkan Entikong, Indonesia dengan Tebedu, Malaysia. Jalur ini digunakan oleh para pekerja migran yang tidak berdokumen resmi untuk menembus Malaysia. Melalui ‘lorong’ yang tersembunyi ini, Romi menggiring pembaca turut ke dalam perjalanannya menemui dan berinteraksi dengan para pekerja migran, keluarga serta anak-anak mereka, dan melihat liku keseharian mereka.

“Tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah”. Catatan pada halaman 11 itu memberi konteks dari foto-foto yang muncul setelah ‘jalur tikus’: foto-foto yang memperlihatkan para pekerja migran melakukan kerja-kerja di sektor informal, semacam asisten rumah tangga, pekerja di ladang sawit serta, buruh di pabrik pengolahan kayu.

Dari sana, Romi terus memberi gambaran tentang bagaimana para pekerja migran ini melakukan mobilitasnya, baik itu pulang ke kampung halaman atau ketika harus kembali lagi ke negara tempat mereka bekerja. Dengan foto-foto itu, Romi coba menyampaikan bahwa momen pulang kampung dan berangkat kembali itu adalah saat-saat yang penuh dengan tantangannya masing-masing.

Romi mengawali buku ini dengan sebuah foto jalan setapak yang juga adalah ‘jalur tikus’ yang menghubungkan Entikong, Indonesia dengan Tebedu, Malaysia. Jalur ini digunakan oleh para pekerja migran yang tidak berdokumen resmi untuk menembus Malaysia. Melalui ‘lorong’ yang tersembunyi ini, Romi menggiring pembaca turut ke dalam perjalanannya menemui dan berinteraksi dengan para pekerja migran, keluarga serta anak-anak mereka, dan melihat liku keseharian mereka.

“Tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah”. Catatan pada halaman 11 itu memberi konteks dari foto-foto yang muncul setelah ‘jalur tikus’: foto-foto yang memperlihatkan para pekerja migran melakukan kerja-kerja di sektor informal, semacam asisten rumah tangga, pekerja di ladang sawit serta, buruh di pabrik pengolahan kayu.

Dari sana, Romi terus memberi gambaran tentang bagaimana para pekerja migran ini melakukan mobilitasnya, baik itu pulang ke kampung halaman atau ketika harus kembali lagi ke negara tempat mereka bekerja. Dengan foto-foto itu, Romi coba menyampaikan bahwa momen pulang kampung dan berangkat kembali itu adalah saat-saat yang penuh dengan tantangannya masing-masing.

“Tiga perempat dari sembilan juta pekerja migran Indonesia di luar negeri merupakan pekerja berketerampilan rendah”

8-Buku-Au-Loim-Fain
5-Buku-Au-Loim-Fain
6-Buku-Au-Loim-Fain
9-Buku-Au-Loim-Fain

Bagi pekerja migran yang berdokumen lengkap dan dibekali keterampilan serta pengetahuan yang cukup, peristiwa berangkat adalah sebuah momentum untuk mengubah nasib: kesempatan mendapatkan rejeki yang diangankan. Namun, keberangkatan itu juga terkadang mendebarkan: berhadapan dengan isu-isu kekerasan domestik yang tak kunjung selesai. Sedangkan bagi mereka yang tidak berdokumen lengkap, peristiwa berangkat adalah hal yang sangat tidak pasti dan membuat waswas. Mereka harus melalui ‘jalur tikus’ yang tidak mudah serta seringkali harus melewati manusia-manusia ‘lintah darat’ untuk bisa menembus negeri asing.

Sementara momen pulang kampung tentu disertai dengan euforia yang campur aduk. Sebagian dari para pekerja imigran itu akan berkumpul kembali dan disambut oleh sosok-sosok yang selama ini dirindukan. Bahkan banyak di antaranya akan bersua dengan anak mereka yang sudah tampak asing karena bertahun-tahun tidak bersua. Namun, bagi sebagian keluarga pekerja imigran yang lain, peristiwa pulang adalah saat-saat yang memilukan. Mereka menyambut tubuh yang telah kaku dan tak bernyawa. Seperti yang terjadi pada Adelina Sau.

Kehidupan Karno, seorang anak pekerja migran yang harus kehilangan masa kecilnya karena harus bekerja membiayai hidup, adalah salah satu yang menyentil Romi. Semenjak memotret Karno, ia merasa harus mendedikasikan karya fotografinya untuk membantu anak-anak yang bernasib seperti Karno. Ketika ia mengulik lebih jauh, Romi menjumpai isu-isu serupa yang terjadi pada sebagian anak-anak para pekerja migran: tidak dibesarkan dalam perlindungan kedua orang tua, tidak merasakan masa kecil yang menyenangkan dan pendidikan yang layak. Bagi anak-anak yang lahir di negeri asing, mereka tidak mendapatkan prasarana kesejahteraan yang memadai. Bahkan ada diantara mereka yang harus dimohonkan statusnya sebagai pengungsi negara karena orang tuanya kehilangan paspor.

Bagi Romi, hal-hal semacam itu harus disebarluaskan, walaupun kenyataannya tidak menyenangkan. Apalagi banyak pekerja migran Indonesia yang masih di bawah umur harus mengalami deportasi. Atas nama keadilan serta penegakan hukum, mereka harus ditahan dalam tahanan imigrasi di negara asing. Romi menampilkan kegetiran itu dalam beberapa potret pekerja migran yang ditahan dalam Tahanan Sementara Sandakan, Malaysia. Potret-potret itu ia tampilkan dalam bentuk serupa klise –negatif foto.

11-Buku-Au-Loim-Fain

Au Loim Fain tidak hanya berisi kegetiran, buku ini juga menampilkan hal-hal yang melegakan. Seperti pada bagian akhir, Romi memperlihatkan bagaimana kehidupan keluarga para pekerja migran tidak selamanya bernasib buruk. Sejumlah potret anak-anak pekerja migran yang berhasil mengatasi tantangan hidup mereka menjadi penutup buku foto ini yang menampilkan kelegaan dan harapan-harapan yang selalu akan ada di tiap lubang-lubang gelap. Termasuk di tengah carut marutnya kisah dan kenyataan pekerja migran Indonesia.

Usaha Romi Perbawa memotret isu pekerja migran Indonesia, yang tampaknya tak pernah selesai ini, patut mendapatkan apresiasi. Bagi sebagian orang, masalah ini amat sensitif, membuatnya sulit untuk didokumentasikan. Tapi, dengan konsistensi dan determinasinya selama tujuh tahun, Romi berhasil menembus batas-batas negara dan masuk lebih jauh untuk mengikuti dan mendokumentasikan perjalanan para pekerja migran itu, satu hal yang jarang dimiliki oleh banyak orang.

Dengan kisah-kisah di dalamnya, Au Loim Fain bisa ambil bagian sebagai salah satu bahan advokasi untuk memperjuangkan kesejahteraan para pekerja migran Indonesia dan anak-anak mereka, seperti yang ia tulis dalam pengantarnya. Cita-cita ini tentu saja tak mudah tanpa campur tangan banyak pihak yang turut membuat kebijakan terkait kehidupan pekerja imigran.

 

Au Loim Fain tidak hanya berisi kegetiran, buku ini juga menampilkan hal-hal yang melegakan. Seperti pada bagian akhir, Romi memperlihatkan bagaimana kehidupan keluarga para pekerja migran tidak selamanya bernasib buruk. Sejumlah potret anak-anak pekerja migran yang berhasil mengatasi tantangan hidup mereka menjadi penutup buku foto ini yang menampilkan kelegaan dan harapan-harapan yang selalu akan ada di tiap lubang-lubang gelap. Termasuk di tengah carut marutnya kisah dan kenyataan pekerja migran Indonesia.

Usaha Romi Perbawa memotret isu pekerja migran Indonesia, yang tampaknya tak pernah selesai ini, patut mendapatkan apresiasi. Bagi sebagian orang, masalah ini amat sensitif, membuatnya sulit untuk didokumentasikan. Tapi, dengan konsistensi dan determinasinya selama tujuh tahun, Romi berhasil menembus batas-batas negara dan masuk lebih jauh untuk mengikuti dan mendokumentasikan perjalanan para pekerja migran itu, satu hal yang jarang dimiliki oleh banyak orang.

Dengan kisah-kisah di dalamnya, Au Loim Fain bisa ambil bagian sebagai salah satu bahan advokasi untuk memperjuangkan kesejahteraan para pekerja migran Indonesia dan anak-anak mereka, seperti yang ia tulis dalam pengantarnya. Cita-cita ini tentu saja tak mudah tanpa campur tangan banyak pihak yang turut membuat kebijakan terkait kehidupan pekerja imigran.

 

Au Loim Fain tidak hanya berisi kegetiran, buku ini juga menampilkan hal-hal yang melegakan. Seperti pada bagian akhir, Romi memperlihatkan bagaimana kehidupan keluarga para pekerja migran tidak selamanya bernasib buruk. Sejumlah potret anak-anak pekerja migran yang berhasil mengatasi tantangan hidup mereka menjadi penutup buku foto ini yang menampilkan kelegaan dan harapan-harapan yang selalu akan ada di tiap lubang-lubang gelap. Termasuk di tengah carut marutnya kisah dan kenyataan pekerja migran Indonesia.

Usaha Romi Perbawa memotret isu pekerja migran Indonesia, yang tampaknya tak pernah selesai ini, patut mendapatkan apresiasi. Bagi sebagian orang, masalah ini amat sensitif, membuatnya sulit untuk didokumentasikan. Tapi, dengan konsistensi dan determinasinya selama tujuh tahun, Romi berhasil menembus batas-batas negara dan masuk lebih jauh untuk mengikuti dan mendokumentasikan perjalanan para pekerja migran itu, satu hal yang jarang dimiliki oleh banyak orang.

Dengan kisah-kisah di dalamnya, Au Loim Fain bisa ambil bagian sebagai salah satu bahan advokasi untuk memperjuangkan kesejahteraan para pekerja migran Indonesia dan anak-anak mereka, seperti yang ia tulis dalam pengantarnya. Cita-cita ini tentu saja tak mudah tanpa campur tangan banyak pihak yang turut membuat kebijakan terkait kehidupan pekerja imigran.

 

Ketika ia mengulik lebih jauh, Romi menjumpai isu-isu serupa yang terjadi pada sebagian anak-anak para pekerja migran: tidak dibesarkan dalam perlindungan kedua orang tua, tidak merasakan masa kecil yang menyenangkan dan pendidikan yang layak.

Ketika ia mengulik lebih jauh, Romi menjumpai isu-isu serupa yang terjadi pada sebagian anak-anak para pekerja migran: tidak dibesarkan dalam perlindungan kedua orang tua, tidak merasakan masa kecil yang menyenangkan dan pendidikan yang layak.

Judul: Au Loim Fain
Karya: Romi Perbawa
Tahun Terbit: 2021
Penerbit: Yayasan Panna

Judul: Au Loim Fain
Karya: Romi Perbawa
Tahun Terbit: 2021
Penerbit: Yayasan Panna

Judul: Au Loim Fain
Karya: Romi Perbawa
Tahun Terbit: 2021
Penerbit: Yayasan Panna

Penulis: Lucia Dianawuri

Foto: Romi Perbawa

Editor: Zhu Qincay

Penulis: Lucia Dianawuri

Foto: Romi Perbawa

Editor: Zhu Qincay

Penulis: Lucia Dianawuri

Foto: Romi Perbawa

Editor: Zhu Qincay

Penulis: Lucia Dianawuri

Foto: Romi Perbawa

Editor: Zhu Qincay

Penulis: Lucia Dianawuri

Foto: Romi Perbawa

Editor: Zhu Qincay

© BICARA FOTO 2021. ALL RIGHTS RESERVED.

error: