12 November 2021 - Bincang-bincang
CRISTIAN RAHADIANSYAH
Ide awalnya kita ingin mengisi ceruk yang masih kosong yang penting buat ekosistem fotografi di Indonesia. Ceruk kosong itu adalah platform untuk mempertemukan sesama pelaku fotografi. Kenapa hal ini penting? Karena dibutuhkan.
Foto: Dokumentasi Pribadi
Setelah sukses pada gelaran pertamanya dua tahun lalu, Jakarta International Photo Festival (JIPFest) kembali hadir mengusung tema Space. Tim Kuratorial JIPFest telah memilih 14 karya fotografi dan multimedia dari 12 negara untuk dipamerkan dalam festival ini. Beberapa rangkaian kegiatan yang turut digelar dalam festival ini antara lain Artist Talk, Fringe, Pameran Buku Foto, Portfolio Review, Projections Night, Public Lecture dan Workshop.
Festival foto tahunan ini tidak bisa lepas dari sosok Cristian Rahadiansyah, Direktur Festival. Bersama Ng Swan Ti, Cristian menginisiasi JIPFest yang diadakan pertama kali pada 2019. "Kalau ide awalnya kita ingin mengisi semacam ceruk yang masih kosong yang penting buat ekosistem fotografi di Jakarta, juga di Indonesia," kata Cristian. Sempat tertunda karena pandemi, JIPFest akhirnya digelar pada 13-28 November 2021 di Kota Tua, Jakarta.
Menyambut gelaran kedua JIPFest, Bicarafoto.com berkesempatan berbincang-bincang dengan Cristian Rahadiansyah. Berikut petikan perbincangannya.
(L) Lucia Dianawuri untuk Bicarafoto.com
(C) Cristian Rahadiansyah
L: JIPFest itu apa sih?
C: Saya sering pake analogi simpel. Kalau Java Jazz itu buat jazz, kalo JIPFest buat fotografi. Walau gak sepenuhnya akurat, tapi ini analogi paling gampang. Seperti layaknya festival, intinya ada pertemuan dan perayaan, festivity. Kalau JIPFest ya pertemuan dan perayaan para pelaku di bidang fotografi. Dan pelaku fotografi itu gak cuma fotografer, tapi ada penerbit buku foto, pemilik galeri, pengelola museum, perusahaan percetakan foto, komunitas dan akademisi.
Mereka semua kita sebut sebagai pemangku kepentingan dan pelaku. Jadi, JIPFest ini ya pertemuan dan perayaan para pemangku kepentingan dan pelaku fotografi.
L: Lalu fungsinya?
C: Nah, kalau bicara lebih teknisnya, ada tiga fungsi besar. Pertama edukasi, kedua komersial, dan ketiga Sosial. Tiap fungsi ini diterjemahkan lewat program. Ada program yang mencakup dua fungsi sekaligus, tiga fungsi sekaligus, ada yang cuma satu. Contohnya, kalau edukasi, terjemahan paling sederhananya program workshop. Ada workshop menulis, workshop menjadi kurator, ada workshop visual storytelling.
Yang kedua komersial, kita menerjemahkannya; menciptakan peluang dan mengembangkan jaringan bagi para pelaku. Yang pernah kita coba adalah portfolio review. Itu sifatnya komersial karena user, buyer dan seller ketemu. Misalnya, waktu itu kita mendatangkan Direktur Museum MACAN untuk ketemu dengan fotografer yang bercita-cita pameran di Museum MACAN, atau memfasilitasi fotografer komersial yang mungkin [sedang] nyari asisten. Termasuk LSM yang suka ngasih assignment, kita pertemukan dengan orang yang mau dapet assignment dari LSM.
Yang ketiga fungsi sosial. Nah, ini yang paling berat, tapi juga yang paling luhur dibanding sebelumnya. Tujuannya adalah mendorong perubahan. Peran fotografi sebagai medium perubahan sosial.
L: Ide awal semacam apa yang akhirnya melahirkan JIPFest?
C: Kalau ide awalnya kita ingin mengisi semacam ceruk yang masih kosong yang penting buat ekosistem fotografi di Jakarta, juga di Indonesia. Nah, ceruk kosong itu adalah platform untuk mempertemukan sesama pelaku fotografi di Indonesia, juga pelaku dari luar negeri. Kenapa hal ini menjadi penting? Jawabannya sederhana; karena ini dibutuhkan.
L: Sejak kapan ide itu muncul?
C: Sebenarnya sudah cukup lama punya ide ini. Saya selalu bertanya-tanya "kenapa di Indonesia gak ada festival foto reguler yang internasional?”. Lalu di 2018, pas buka puasa di Blok M bareng Mbak Swanti, Mbak Swanti nanya “Mas, kita bikin acara foto, yok”. Saya tawarin ke Mbak Swanti untuk bikin festival foto. Saya hanya mau bikin acara kalau acara itu dibutuhkan dan belum ada. Dan Mbak Swanti tertarik dengan ide itu. Dari situ berlanjut hingga akhirnya bikin JIPFest.
L: PannaFoto di JIPFest fungsinya sebagai apa?
C: Mbak Swanti kan direkturnya PannaFoto. Jadi, PannaFoto adalah lembaga administrasi yang menaungi JIPFest, karena memang harus ada landasan legalnya. Tapi memang, JIPFest ini yang menginisiasi awal, ya, saya dan Mbak Swanti.
Yang jelas kami modal nekat, karena ada yang bilang nyiapin festival itu minimum dua tahun. Tapi, waktu JIPFest pertama, kami cuma nyiapin selama setahun. Jadi, ya, kami masih belajar, masih mengunjungi banyak festival foto dan melihat proses kerja mereka gimana.
Workshop Photo Critic & Curatorial. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
Pameran Foto di Goethe Institut. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
Pameran Foto di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
Urban Photo Tour bersama Erik Prasetya. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
L: Harapannya apa dari JIPFest?
C: Kita berharap dari JIPFest bakat, juga karya dari Indonesia, bisa naik gaungnya. Bisa dilihat langsung, bisa terdengar langsung, walau orang luar gak datang langsung. Ini bukan harapan kosong. Karena kalau kamu cek, JIPFest itu juga disampaikan oleh beberapa media dan platform asing. Misalnya, PH Museum, allaboutphoto.com, sampai ada media dari Cina memberitakan tentang JIPFest. Nah, itu mau gak mau, secara langsung dan tidak langsung bakat dan karya lokal terpantau radar internasional.
Selama ini, platform semacam itu yang reguler kan gak ada. Selain itu, dengan datangnya tamu dan juga karya-karya asing, harapannya ada transfer wawasan dan pengalaman yang lebih beragam. Juga muncul diskusi dan persaingan.
Intinya, kita berharap komunitas fotografi jangan hidup dalam bubble. Misalnya, orang sini bisa belajar bagaimana mendokumentasikan isu climate change, sebaliknya orang luar juga bisa belajar dari sini. Saya ngebayangin JIPFest ini kayak jendela atau jembatan untuk pelaku fotografi atau komunitas fotografi di Indonesia menjadi bagian dari komunitas global. Juga jadi jembatan bagi komunitas global menemui pelaku foto di Indonesia.
L: Pentingnya JIPFest untuk Indonesia?
C: Ini bicara statistik dulu, ya. Kalau data Kemenparekraf tentang pelaku ekonomi kreatif di Indonesia, di fotografi ada 73.000 lapangan kerja. Paling mengejutkan adalah kontribusinya untuk pendapatan bruto nasional sekitar 5,9 triliun. Itu lebih gede dari seni rupa, walaupun seni rupa dianggap lebih bergengsi, lebih gede dari desain, bahkan lebih gede dari film.
Fotografi cuma kalah sedikit dari musik. Statistiknya kan luar biasa, ya. Dan mungkin jadi besar karena semua sektor dimasukin. Seperti jual kamera, pajaknya kan masuk PDB. Bukan cuma dari karya foto atau dari assignmentnya foto, tapi dari ekosistem keseluruhan.
Saya dan teman-teman di JIPFest berharap, JIPFest gak cuma membesarkan ekosistem fotografi secara ekonomi, tapi juga memberi kontribusi ke masyarakat secara umum. Nah, ini berarti fungsi yang ketiga tadi, yang berat tapi luhur, membuat perubahan sosial.
Saya ingat banget kata-katanya Sahidul Alam. Intinya dia bilang, fotografi jangan jadi dunia yang asik sendiri, sibuk dengan estetika, lensa, kamera. Fotografi harus jadi medium untuk perubahan sosial. Kata-katanya masuk akal. Contohnya, dia menggunakan pameran foto sebagai alat kampanye tentang kondisi buruh di Bangladesh. Saya ingin Indonesia bisa seperti itu. Karena foto memang mempengaruhi cara orang melihat realitas.
L: Fotografi tidak sekedar menjepret saja, lalu jadi ilustrasi. Tapi, kembali lagi ke fitrahnya untuk menjadi sebuah medium. Begitu?
C: Iya. Kalau melihat ke belakang, dulu kenapa ada lukisan, lalu jadi fotografi, terus muncul mesin cetak, muncul media dan seterusnya. Awalnya bukan orang ribut soal dekorasi rumah, tapi ada fungsi lain dari fotografi. Fotografi adalah medium untuk menyampaikan tentang fungsi-fungsi dekorasi itu.
Diskusi Panel "Capturing Identity" di Taman Ismail Marzuki. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
Artist Talk di Rubahan. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
Pameran Buku Foto di Taman Ismail Marzuki. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
L: Kenapa memilih tema SPACE?
C: Dalam diskusi internal, kita terpicu oleh tiga isu besar. Pertama adalah jumlah orang yang hidup di kota yang officially lebih besar dari jumlah orang yang hidup di desa. Ini untuk pertama kalinya tercatat dalam sejarah modern. Kedua krisis lingkungan yang gak cuma makin terdengar kampanyenya, tapi makin kerasa dampaknya. Dan yang ketiga internet. Internet itu makin membuat batas antara wilayah privat dan publik makin kabur. Dan mengaburkan juga antara realita dunia dan realita maya. Banyak orang terjebak di antaranya dan hidup di antaranya.
SPACE itu yang ingin kita munculkan dan berharap bisa ditafsir menjadi beragam.
L: Jadi, SPACE tidak melulu ditafsir sebagai tempat atau satu hal yang kaku?
C: Ya, ia bisa ditafsir bermacam-macam. Seperti ditafsir sebagai sebuah laci sejarah.
L: Siapa yang bisa ikut JIPFest?
C: Gak melulu pelaku fotografi. Kalau pameran kita gak mensyaratkan orangnya harus fotografer, tapi harus punya karya yang sejalan dengan tema. Untuk program workshop dan program lainnya, pendaftarnya gak harus fotografer, manajer galeri boleh, orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan tentang kegiatan kreatif juga bisa ikut. Peserta JIPFest akan sangat tergantung dari programnya.
Tapi, sebisa mungkin JIPFest ini gak cuma acara dia lagi-dia lagi. Harapannya akan banyak dari luar fotografi. Karena sayang kalau para fotografer bikin karya, ngomongin tentang karya, tapi yang mengapresiasi teman-temannya sendiri lagi, dipuji oleh teman-teman sendiri. Live in the bubble lagi.
L: Kenapa Kota Tua yang menjadi lokasi tahun ini?
C: Karena seru juga, ya, membayangkan karya-karya masa kini dipajang di latar gedung-gedung dari masa lalu. Kontras dan seru. Kalau sesuai dengan konteks pandemi sekarang, Kota Tua adalah objek wisata paling vital buat DKI Jakarta. Kita membayangkan turis-turis yang datang ke JIPFest itu bakal senang kalau mengajak mereka berwisata.
Kita juga berharap JIPFest bisa membantu pemulihan pariwisata di sana yang jadi sepi akibat pandemi. Sekarang banyak sekali restoran yang terancam bangkrut. Semoga kalau bikin acara di sana orang bisa balik lagi wisata ke Kota Tua.
Pameran Foto di IFI Thamrin. (Foto: Dok. JIPFest 2019)
L: Ada program-program unggulan?
C: Total programnya ada 13. Kalau unggulan gak ada. Kita sih berharap semua sama-sama jadi unggulan. Tapi, kalau program favorit saya pribadi adalah public lecture karena ada talk show yang berbobot dan serius. Formatnya mirip Ted Talk. Terus program Fringe yang sejalan dengan misi kita, yaitu ingin JIPFest jadi milik bersama. Lewat Fringe, JIPFest seperti jadi muara bagi para pelaku fotografi untuk datang, tampil, unjuk diri dan bikin acara.
L: Menemukan kesulitan dalam mengerucutkan berbagai genre foto untuk akhirnya jadi satu dengan tema SPACE? Proses kurasinya seperti apa?
C: Kalau untuk pameran foto kan ada kurator. Tahun ini ada tiga kurator, Kurniadi Widodo, Mbak Swanti dan Sayed Asif Mahmud dari Bangladesh. Saya menyerahkan ke pihak kurator untuk menyeleksi karya yang masuk. Pesannya cuma sederhana; ini bukan festival yang berdarah-darah, jadi jangan milih foto yang nuansanya penuh air mata seperti di World Press Photo.
Sebaiknya ditampilkan karya-karya kontemporer yang pendekatannya lebih beragam. Kita ingin lebih luwes merangkul semua aliran foto, walaupun ada kecenderungan kurator memilih foto yang dia suka. Itu lumrah dan manusiawi.
Untuk program lain, kita gak terlalu memperhatikan harus ada keragaman genre. Tapi, diskusi di dapurnya JIPFest, kami berharap sebisa mungkin memberi support ke perempuan. Jadi, yang menjadi isu adalah gender, bukan tentang genre fotografi. Pengalaman JIPFest terdahulu, untuk menjaga keseimbangan antara bintang tamu perempuan dan laki-laki itu sulit sekali.
Untuk bintang tamu kita juga selalu memperhatikan komposisi gendernya. Memang beberapa kasus seperti maksain, tapi kita melihat ini seperti lomba lari. Laki-laki sudah 100 meter di depan perempuan, kalau gak ada support secara sengaja, sampai kapan pun perempuan akan sulit mencapai finis beriringan dengan laki-laki. Problemnya memang pada terbatasnya ketersediaan perempuan yang bisa diundang. Tapi, ya, mau tidak mau harus dimulai dari sekarang.
L: Apa pekerjaan rumah berikutnya JIPFest?
C: PR berikutnya adalah melibatkan difabel. Kami berharap JIPFest ke depan bisa lebih inklusif dengan melibatkan kawan-kawan difabel yang bergerak di dunia fotografi.
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Zhu Qincay