1 Oktober 2021 - Balik Layar
REPORTASE DI MASA PANDEMI
Bagi Fadli, pertemuannya dengan orang-orang di daerah-daerah yang ia tuju telah mengafirmasi apa yang ditulis oleh Krithika, dan hipotesisnya sendiri, bahwa dalam beberapa hal, negara yang harusnya menjadi pelindung warganya belum benar-benar hadir di masa pandemi ini.
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan dunia sedang dilanda wabah Covid-19. Beberapa negara kemudian segera melakukan lockdown –kuncitara, menutup akses keluar masuk. Indonesia sendiri pada awal pandemi ini tidak berani untuk menerapkan hal yang sama. Negara ini terkesan adem ayem.
Baru setelah ditemukannya dua kasus pertama di Depok, Jawa Barat, serta kematian pertama di Rumah Sakit Sanglah, Bali, pemerintah Indonesia mulai gentar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pun baru dimandatkan pada 31 Maret 2020 lewat PP No. 21 Tahun 2020, dua puluh hari setelah pernyataan WHO itu.
Di tengah kondisi dunia, khususnya Indonesia, yang semacam itu, Muhammad Fadli mulai melakukan perjalanan untuk meliput dampak dari wabah Covid-19 ini. Sebelumnya, James Wellford, editor foto National Geographic, menanyakan ke Fadli via surat elektronik apakah ia bersedia melakukan penugasan pemotretan di Indonesia dalam kondisi Covid-19 yang semakin mewabah di Indonesia. Pria asal Sumatera Barat ini menyanggupi.
Bagi Fadli, penugasan ini akan menjadi kesempatan untuknya merekam salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi di dunia. Melalui foto-fotonya, Fadli berharap bisa memberi gambaran sesungguhnya bagaimana masyarakat Indonesia, dari berbagai latar budaya dan ekonomi, menghadapi dan mengatasi pandemi ini dengan cara mereka sendiri.
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan dunia sedang dilanda wabah Covid-19. Beberapa negara kemudian segera melakukan lockdown –kuncitara, menutup akses keluar masuk. Indonesia sendiri pada awal pandemi ini tidak berani untuk menerapkan hal yang sama. Negara ini terkesan adem ayem.
Baru setelah ditemukannya dua kasus pertama di Depok, Jawa Barat, serta kematian pertama di Rumah Sakit Sanglah, Bali, pemerintah Indonesia mulai gentar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pun baru dimandatkan pada 31 Maret 2020 lewat PP No. 21 Tahun 2020, dua puluh hari setelah pernyataan WHO itu.
Di tengah kondisi dunia, khususnya Indonesia, yang semacam itu, Muhammad Fadli mulai melakukan perjalanan untuk meliput dampak dari wabah Covid-19 ini. Sebelumnya, James Wellford, editor foto National Geographic, menanyakan ke Fadli via surat elektronik apakah ia bersedia melakukan penugasan pemotretan di Indonesia dalam kondisi Covid-19 yang semakin mewabah di Indonesia. Pria asal Sumatera Barat ini menyanggupi.
Bagi Fadli, penugasan ini akan menjadi kesempatan untuknya merekam salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi di dunia. Melalui foto-fotonya, Fadli berharap bisa memberi gambaran sesungguhnya bagaimana masyarakat Indonesia, dari berbagai latar budaya dan ekonomi, menghadapi dan mengatasi pandemi ini dengan cara mereka sendiri.
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) menyatakan dunia sedang dilanda wabah Covid-19. Beberapa negara kemudian segera melakukan lockdown –kuncitara, menutup akses keluar masuk. Indonesia sendiri pada awal pandemi ini tidak berani untuk menerapkan hal yang sama. Negara ini terkesan adem ayem.
Baru setelah ditemukannya dua kasus pertama di Depok, Jawa Barat, serta kematian pertama di Rumah Sakit Sanglah, Bali, pemerintah Indonesia mulai gentar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pun baru dimandatkan pada 31 Maret 2020 lewat PP No. 21 Tahun 2020, dua puluh hari setelah pernyataan WHO itu.
Di tengah kondisi dunia, Indonesia khususnya, yang semacam itu, Muhammad Fadli mulai melakukan perjalanan untuk meliput dampak dari wabah Covid-19 ini. Sebelumnya, James Wellford, editor foto National Geographic, menanyakan ke Fadli via surel apakah ia bersedia melakukan penugasan pemotretan dalam kondisi Covid-19 yang semakin mewabah di Indonesia. Pria asal Sumatera Barat ini menyanggupi.
Bagi Fadli, penugasan ini akan menjadi kesempatan untuknya merekam salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi di dunia. Melalui foto-fotonya, Fadli berharap bisa memberi gambaran sesungguhnya bagaimana masyarakat Indonesia, dari berbagai latar budaya dan ekonomi, menghadapi dan mengatasi pandemi ini dengan cara mereka sendiri.
Dari reportase yang telah ditulis oleh Krithika Varagur, ia mulai mengumpulkan data dan memetakan tempat-tempat yang akan didatangi. Beruntung, James Wellford memberikan ruang yang cukup besar pada Fadli untuk mengerjakan penugasan ini, memotret sesuai dengan apa yang ia temukan di lapangan, tidak harus memotret sesuai dengan apa yang ditulis oleh penulis. Apalagi Krithika sudah tidak berada di Indonesia. Penulis ini telah pulang ke negara asalnya, Amerika Serikat, sebelum negaranya itu memberlakukan kuncitara.
Segera setelah menyelesaikan riset dan segala urusan teknis di lapangan dipersiapkan, seperti pakaian hazmat dan alat pelindung tubuh lainnya, Fadli mulai melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang telah ia tandai. Fotografer yang memulai karir sebagai pewarta foto di Kota Padang ini tidak berangkat sendiri. Atet Dwi Pramadia turut dalam penugasan ini selaku asistennya selama di lapangan.
Penugasan yang dimulai pada akhir April hingga awal Mei 2020 ini ia lakukan secara maraton di mulai dari Jakarta ke Bogor dan kembali ke Jakarta. Kemudian, perjalanan berlanjut ke Banten. Dari Banten, ia menumpang kapal feri untuk menyeberang ke Lampung. Dari Lampung, Fadli kembali ke Jawa, menuju titik-titik berikutnya: Subang, Cirebon, Solo, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ayah satu anak ini memotret di kawasan Pantai Parangtritis dan Kulon Progo. Kemudian, ia dan kerabat kerjanya kembali mengarah ke Jakarta melewati jalur selatan. Di jalur ini ia singgah di Cilacap, Cianjur dan Bandung. Setelah itu, ia membungkus perjalanannya dengan kembali ke Jakarta.
Dari reportase yang telah ditulis oleh Krithika Varagur, ia mulai mengumpulkan data dan memetakan tempat-tempat yang akan didatangi. Beruntung, James Wellford memberikan ruang yang cukup besar pada Fadli untuk mengerjakan penugasan ini, memotret sesuai dengan apa yang ia temukan di lapangan, tidak harus memotret sesuai dengan apa yang ditulis oleh penulis. Apalagi Krithika sudah tidak berada di Indonesia. Penulis ini telah pulang ke negara asalnya, Amerika Serikat, sebelum negaranya itu memberlakukan kuncitara.
Segera setelah menyelesaikan riset dan segala urusan teknis di lapangan dipersiapkan, seperti pakaian hazmat dan alat pelindung tubuh lainnya, Fadli mulai melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang telah ia tandai. Fotografer yang memulai karir sebagai pewarta foto di Kota Padang ini tidak berangkat sendiri. Atet Dwi Pramadia turut dalam penugasan ini selaku asistennya selama di lapangan.
Penugasan yang dimulai pada akhir April hingga awal Mei 2020 ini ia lakukan secara maraton di mulai dari Jakarta ke Bogor dan kembali ke Jakarta. Kemudian, perjalanan berlanjut ke Banten. Dari Banten, ia menumpang kapal feri untuk menyeberang ke Lampung. Dari Lampung, Fadli kembali ke Jawa, menuju titik-titik berikutnya: Subang, Cirebon, Solo, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ayah satu anak ini memotret di kawasan Pantai Parangtritis dan Kulon Progo. Kemudian, ia dan kerabat kerjanya kembali mengarah ke Jakarta melewati jalur selatan. Di jalur ini ia singgah di Cilacap, Cianjur dan Bandung. Setelah itu, ia membungkus perjalanannya dengan kembali ke Jakarta.
Dari reportase yang telah ditulis oleh Krithika Varagur, ia mulai mengumpulkan data dan memetakan tempat-tempat yang akan didatangi. Beruntung, James Wellford memberikan ruang yang cukup besar pada Fadli untuk mengerjakan penugasan ini, memotret sesuai dengan apa yang ia temukan di lapangan, tidak harus memotret sesuai dengan apa yang ditulis oleh penulis. Apalagi Krithika sudah tidak berada di Indonesia. Penulis ini telah pulang ke negara asalnya, Amerika Serikat, sebelum negaranya itu memberlakukan kuncitara.
Segera setelah menyelesaikan riset dan segala urusan teknis di lapangan dipersiapkan, seperti pakaian hazmat dan alat pelindung tubuh lainnya, Fadli mulai melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang telah ia tandai. Fotografer yang memulai karir sebagai pewarta foto di Kota Padang ini tidak berangkat sendiri. Atet Dwi Pramadia turut dalam penugasan ini selaku asistennya selama di lapangan.
Penugasan yang dimulai pada akhir April hingga awal Mei 2020 ini ia lakukan secara maraton di mulai dari Jakarta ke Bogor dan kembali ke Jakarta. Kemudian, perjalanan berlanjut ke Banten. Dari Banten, ia menumpang kapal feri untuk menyeberang ke Lampung. Dari Lampung, Fadli kembali ke Jawa, menuju titik-titik berikutnya: Subang, Cirebon, Solo, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ayah satu anak ini memotret di kawasan Pantai Parangtritis dan Kulon Progo. Kemudian, ia dan kerabat kerjanya kembali mengarah ke Jakarta melewati jalur selatan. Di jalur ini ia singgah di Cilacap, Cianjur dan Bandung. Setelah itu, ia membungkus perjalanannya dengan kembali ke Jakarta.
Dalam perjalanan selama dua belas hari penuh untuk memotret pandemi di Indonesia, Fadli menemukan berbagai cerita-cerita yang ia dapatkan dari warga seputar wabah Covid-19 ini. Seperti, orang-orang yang ia temui di dalam kapal feri menuju Lampung. Mereka adalah orang-orang yang berusaha kembali ke kampung halamannya di tengah ancaman virus yang belum terkendali. Di kota-kota yang ia lewati, Fadli mendengar cerita dan melihat bagaimana orang-orang berusaha untuk menyelamatkan diri dari kondisi pelik ini.
Cerita-cerita itu dan perkembangan yang ia temui di lapangan dia komunikasikan dengan penulis artikel, Krithika, dan ke redaksi National Geographic lewat surat elektronik. Kemudian, tim National Geographic akan melakukan cek ulang untuk memvalidasi hal-hal tersebut bukan sekadar opini dari reporter semata. Sebab itu, setiap memotret warga, Fadli harus mencatat nama, alamat dan nomor kontak mereka.
Sedangkan untuk metode pemilihan narasumber, Fadli menentukannya dengan dua cara: memulai dari memotret kemudian menggali kisah dari narasumbernya atau mendengarkan cerita dari narasumbernya terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemotretan. Dua cara itu tentu memiliki tantangannya tersendiri di lapangan, kadang banyak yang bersedia diangkat kisahnya, lain waktu ada pula yang menolak.
Dalam perjalanan selama dua belas hari penuh untuk memotret pandemi di Indonesia, Fadli menemukan berbagai cerita-cerita yang ia dapatkan dari warga seputar wabah Covid-19 ini. Seperti, orang-orang yang ia temui di dalam kapal feri menuju Lampung. Mereka adalah orang-orang yang berusaha kembali ke kampung halamannya di tengah ancaman virus yang belum terkendali. Di kota-kota yang ia lewati, Fadli mendengar cerita dan melihat bagaimana orang-orang berusaha untuk menyelamatkan diri dari kondisi pelik ini.
Cerita-cerita itu dan perkembangan yang ia temui di lapangan dia komunikasikan dengan penulis artikel, Krithika, dan ke redaksi National Geographic lewat surat elektronik. Kemudian, tim National Geographic akan melakukan cek ulang untuk memvalidasi hal-hal tersebut bukan sekadar opini dari reporter semata. Sebab itu, setiap memotret warga, Fadli harus mencatat nama, alamat dan nomor kontak mereka.
Sedangkan untuk metode pemilihan narasumber, Fadli menentukannya dengan dua cara: memulai dari memotret kemudian menggali kisah dari narasumbernya atau mendengarkan cerita dari narasumbernya terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemotretan. Dua cara itu tentu memiliki tantangannya tersendiri di lapangan, kadang banyak yang bersedia diangkat kisahnya, lain waktu ada pula yang menolak.
Dalam perjalanan selama dua belas hari penuh untuk memotret pandemi di Indonesia, Fadli menemukan berbagai cerita-cerita yang ia dapatkan dari warga seputar wabah Covid-19 ini. Seperti, orang-orang yang ia temui di dalam kapal feri menuju Lampung. Mereka adalah orang-orang yang berusaha kembali ke kampung halamannya di tengah ancaman virus yang belum terkendali. Di kota-kota yang ia lewati, Fadli mendengar cerita dan melihat bagaimana orang-orang berusaha untuk menyelamatkan diri dari kondisi pelik ini.
Cerita-cerita itu dan perkembangan yang ia temui di lapangan dia komunikasikan dengan penulis artikel, Krithika, dan ke redaksi National Geographic lewat surat elektronik. Kemudian, tim National Geographic akan melakukan cek ulang untuk memvalidasi hal-hal tersebut bukan sekadar opini dari reporter semata. Sebab itu, setiap memotret warga, Fadli harus mencatat nama, alamat dan nomor kontak mereka.
Sedangkan untuk metode pemilihan narasumber, Fadli menentukannya dengan dua cara: memulai dari memotret kemudian menggali kisah dari narasumbernya atau mendengarkan cerita dari narasumbernya terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemotretan. Dua cara itu tentu memiliki tantangannya tersendiri di lapangan, kadang banyak yang bersedia diangkat kisahnya, lain waktu ada pula yang menolak.
Dalam observasinya selama liputan, Fadli melihat bagaimana masyarakat benar-benar terpukul oleh pandemi ini. Di Yogyakarta, misalnya, objek wisata Pantai Parangtritis dan Cepuri Parangkusumo sepi pengunjung. Orang-orang yang menggantungkan sumber penghidupan dari belanja para wisatawan yang datang, amat terdampak karena kondisi semacam ini. Di Jakarta sendiri, sejumlah pekerja sektor informal tertatih-tatih karena pendapatan sehari-hari mereka berkurang akibat mobilitas masyarakat dibatasi. Sementara, menurut Fadli, jaring pengaman sosial warga belum benar-benar berjalan. Kelompok masyarakat, dengan caranya sendiri, bergerak untuk bertahan hidup.
Situasi ini akhirnya menjadi sebuah fenomena yang (terlihat) wajar di masa krisis. Isu ini, yang kemudian fokus masalahnya ia kembangkan ke dampak pandemi terhadap sektor ekonomi dan bagaimana masyarakat mempertahankan sumber-sumber pangan mereka, menjadi liputan Fadli selanjutnya untuk National Geographic yang ia kerjakan dalam rentang Desember 2020-Januari 2021 dan berlanjut di Juli 2021.
Bagi Fadli, pertemuannya dengan orang-orang di daerah-daerah yang ia tuju telah mengafirmasi apa yang ditulis oleh Krithika, dan hipotesisnya sendiri, bahwa dalam beberapa hal, negara yang harusnya menjadi pelindung warganya belum benar-benar hadir di masa pandemi ini. Sebab itu pula warga melakukan inisiatif mandiri untuk menyelamatkan diri dan komunitas mereka. Misalnya, di beberapa daerah yang dilewati dan dikunjungi Fadli, warganya mengarantina kampung dengan cara menutup akses jalan masuk ke kampung mereka.
Apa yang terjadi ini, seperti yang disampaikan oleh Fadli, merupakan bentuk resistensi warga terhadap kondisi yang tak menentu yang sedang terjadi.
Dalam observasinya selama liputan, Fadli melihat bagaimana masyarakat benar-benar terpukul oleh pandemi ini. Di Yogyakarta, misalnya, objek wisata Pantai Parangtritis dan Cepuri Parangkusumo sepi pengunjung. Orang-orang yang menggantungkan sumber penghidupan dari belanja para wisatawan yang datang, amat terdampak karena kondisi semacam ini. Di Jakarta sendiri, sejumlah pekerja sektor informal tertatih-tatih karena pendapatan sehari-hari mereka berkurang akibat mobilitas masyarakat dibatasi. Sementara, menurut Fadli, jaring pengaman sosial warga belum benar-benar berjalan. Kelompok masyarakat, dengan caranya sendiri, bergerak untuk bertahan hidup.
Situasi ini akhirnya menjadi sebuah fenomena yang (terlihat) wajar di masa krisis. Isu ini, yang kemudian fokus masalahnya ia kembangkan ke dampak pandemi terhadap sektor ekonomi dan bagaimana masyarakat mempertahankan sumber-sumber pangan mereka, menjadi liputan Fadli selanjutnya untuk National Geographic yang ia kerjakan dalam rentang Desember 2020-Januari 2021 dan berlanjut di Juli 2021.
Bagi Fadli, pertemuannya dengan orang-orang di daerah-daerah yang ia tuju telah mengafirmasi apa yang ditulis oleh Krithika, dan hipotesisnya sendiri, bahwa dalam beberapa hal, negara yang harusnya menjadi pelindung warganya belum benar-benar hadir di masa pandemi ini. Sebab itu pula warga melakukan inisiatif mandiri untuk menyelamatkan diri dan komunitas mereka. Misalnya, di beberapa daerah yang dilewati dan dikunjungi Fadli, warganya mengarantina kampung dengan cara menutup akses jalan masuk ke kampung mereka.
Apa yang terjadi ini, seperti yang disampaikan oleh Fadli, merupakan bentuk resistensi warga terhadap kondisi yang tak menentu yang sedang terjadi.
Dalam observasinya selama liputan, Fadli melihat bagaimana masyarakat benar-benar terpukul oleh pandemi ini. Di Yogyakarta, misalnya, objek wisata Pantai Parangtritis dan Cepuri Parangkusumo sepi pengunjung. Orang-orang yang menggantungkan sumber penghidupan dari belanja para wisatawan yang datang, amat terdampak karena kondisi semacam ini. Di Jakarta sendiri, sejumlah pekerja sektor informal tertatih-tatih karena pendapatan sehari-hari mereka berkurang akibat mobilitas masyarakat dibatasi. Sementara, menurut Fadli, jaring pengaman sosial warga belum benar-benar berjalan. Kelompok masyarakat, dengan caranya sendiri, bergerak untuk bertahan hidup.
Situasi ini akhirnya menjadi sebuah fenomena yang (terlihat) wajar di masa krisis. Isu ini, yang kemudian fokus masalahnya ia kembangkan ke dampak pandemi terhadap sektor ekonomi dan bagaimana masyarakat mempertahankan sumber-sumber pangan mereka, menjadi liputan Fadli selanjutnya untuk National Geographic yang ia kerjakan dalam rentang Desember 2020-Januari 2021 dan berlanjut di Juli 2021.
Bagi Fadli, pertemuannya dengan orang-orang di daerah-daerah yang ia tuju telah mengafirmasi apa yang ditulis oleh Krithika, dan hipotesisnya sendiri, bahwa dalam beberapa hal, negara yang harusnya menjadi pelindung warganya belum benar-benar hadir di masa pandemi ini. Sebab itu pula warga melakukan inisiatif mandiri untuk menyelamatkan diri dan komunitas mereka. Misalnya, di beberapa daerah yang dilewati dan dikunjungi Fadli, warganya mengarantina kampung dengan cara menutup akses jalan masuk ke kampung mereka.
Apa yang terjadi ini, seperti yang disampaikan oleh Fadli, merupakan bentuk resistensi warga terhadap kondisi yang tak menentu yang sedang terjadi.
Dalam observasinya selama liputan, Fadli melihat bagaimana masyarakat benar-benar terpukul oleh pandemi ini. Di Yogyakarta, misalnya, objek wisata Pantai Parangtritis dan Cepuri Parangkusumo sepi pengunjung. Orang-orang yang menggantungkan sumber penghidupan dari belanja para wisatawan yang datang, amat terdampak karena kondisi semacam ini. Di Jakarta sendiri, sejumlah pekerja sektor informal tertatih-tatih karena pendapatan sehari-hari mereka berkurang akibat mobilitas masyarakat dibatasi. Sementara, menurut Fadli, jaring pengaman sosial warga belum benar-benar berjalan. Kelompok masyarakat, dengan caranya sendiri, bergerak untuk bertahan hidup.
Situasi ini akhirnya menjadi sebuah fenomena yang (terlihat) wajar di masa krisis. Isu ini, yang kemudian fokus masalahnya ia kembangkan ke dampak pandemi terhadap sektor ekonomi dan bagaimana masyarakat mempertahankan sumber-sumber pangan mereka, menjadi liputan Fadli selanjutnya untuk National Geographic yang ia kerjakan dalam rentang Desember 2020-Januari 2021 dan berlanjut di Juli 2021.
Bagi Fadli, pertemuannya dengan orang-orang di daerah-daerah yang ia tuju telah mengafirmasi apa yang ditulis oleh Krithika, dan hipotesisnya sendiri, bahwa dalam beberapa hal, negara yang harusnya menjadi pelindung warganya belum benar-benar hadir di masa pandemi ini. Sebab itu pula warga melakukan inisiatif mandiri untuk menyelamatkan diri dan komunitas mereka. Misalnya, di beberapa daerah yang dilewati dan dikunjungi Fadli, warganya mengarantina kampung dengan cara menutup akses jalan masuk ke kampung mereka.
Apa yang terjadi ini, seperti yang disampaikan oleh Fadli, merupakan bentuk resistensi warga terhadap kondisi yang tak menentu yang sedang terjadi.
Dalam observasinya selama liputan, Fadli melihat bagaimana masyarakat benar-benar terpukul oleh pandemi ini. Di Yogyakarta, misalnya, objek wisata Pantai Parangtritis dan Cepuri Parangkusumo sepi pengunjung. Orang-orang yang menggantungkan sumber penghidupan dari belanja para wisatawan yang datang, amat terdampak karena kondisi semacam ini. Di Jakarta sendiri, sejumlah pekerja sektor informal tertatih-tatih karena pendapatan sehari-hari mereka berkurang akibat mobilitas masyarakat dibatasi. Sementara, menurut Fadli, jaring pengaman sosial warga belum benar-benar berjalan. Kelompok masyarakat, dengan caranya sendiri, bergerak untuk bertahan hidup.
Situasi ini akhirnya menjadi sebuah fenomena yang (terlihat) wajar di masa krisis. Isu ini, yang kemudian fokus masalahnya ia kembangkan ke dampak pandemi terhadap sektor ekonomi dan bagaimana masyarakat mempertahankan sumber-sumber pangan mereka, menjadi liputan Fadli selanjutnya untuk National Geographic yang ia kerjakan dalam rentang Desember 2020-Januari 2021 dan berlanjut di Juli 2021.
Bagi Fadli, pertemuannya dengan orang-orang di daerah-daerah yang ia tuju telah mengafirmasi apa yang ditulis oleh Krithika, dan hipotesisnya sendiri, bahwa dalam beberapa hal, negara yang harusnya menjadi pelindung warganya belum benar-benar hadir di masa pandemi ini. Sebab itu pula warga melakukan inisiatif mandiri untuk menyelamatkan diri dan komunitas mereka. Misalnya, di beberapa daerah yang dilewati dan dikunjungi Fadli, warganya mengarantina kampung dengan cara menutup akses jalan masuk ke kampung mereka.
Apa yang terjadi ini, seperti yang disampaikan oleh Fadli, merupakan bentuk resistensi warga terhadap kondisi yang tak menentu yang sedang terjadi.
* Liputan Muhammad Fadli tentang pandemi Covid-19 di Indonesia bisa dilihat melalui tautan berikut: Indonesia’s government was slow to lock down, so its people took charge dan A World Gone Viral: An Intimate Look at How the Virus Upended Our Lives